Sejarah Awal Sistem Politik Pintu Terbuka

I Smail Zone -
Sеjаrаh Awаl Sіѕtеm Pоlіtіk Pіntu Tеrbukа - Untuk pertama kali dalam sejarah kolonial , pihak swasta mendapat kesempatan membuka kegiatannya di Indonesia. Hal ini dikontrol dalam undang-undang Agraria kolonial/ Agrarische Wet (1870-1960).
Yang berisi
Pasal 1 : gubernur jenderal dihentikan menjual tanah
Pasal 2 : gubernur jenderal dihentikan menyewakan tanah
Pasal 3 : hak atas tanah paling lama 75 tahun

Tiga kutipan pasal itu mampu menggambarkan jiwa dan sasaran yang ingin diraih adalah melayani pemilik modal Belanda. Dalam hal ini partai liberal selaku jembatan yang dengan gigih memperjuangkan kehendak kaum kapitalis.

Perjuangan yang usang dan bikin capek diparlemen alhasil membuahkan hasil dan landasan aturan untuk menyalurkan modal.Namun dengan dikeluarkannya UUPA (UU pokok Agraria) , UU No.5 Tahun 1960 , undang-undang agraria kolonial tidak berlaku lagi.


POLITIK PINTU TERBUKA (OPEN DOOR POLICY) TAHUN 1850 – 1870

Paham keleluasaan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap selaku paham yang paling cocok untuk dipraktekkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi keleluasaan. Liberalisme timbul selaku sikap pendobrakan terhadap kekuasaan diktatorial dan didasarkan atas teori rasionalistis yang biasa dikenal selaku Social Contract. Menurut Siswanto (2004: 262) bahwa salah satu asas dari ide kontrak sosial ini adalah bahwa dunia dikuasai oleh aturan yang timbul dari alam (nature) , yang mengandung prisip-prinsip keadilan universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua insan (Natural Law). Teori-teori kontrak sosial merupakan usaha mendobrak dasar dari pemerintahan adikara , dan berupaya menetapkan hak-hak politik rakyat. Bagi John Locke , hak-hak politik mencakup hak atas hidup , hak atas keleluasaan dan hak untuk memiliki milik (life , liberty and property).

Menurut Ramadhan (2006) bahwa gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi saluran seluas mungkin untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonominya , tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu , campur tangan negara tidak diperlukan lagi.

Pada politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850 , kalangan liberal di nеgеrі Bеlаndа mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870 , sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia mesti dikerjakan oleh pihak swasta. Pemerintah hanya memantau saja , yakni hanya sebagai polisi penjaga malam yang dihentikan campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka memajukan produksi perkebunan di Indоnеѕіа. Dengan demikina pendapatan negara juga akan bertambah.

Untuk mewujudkan tata cara tersebut , pada tahun 1870 di Indonesia dikerjakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pebisnis swasta gila untuk menanamkan modalnya , khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan tata cara liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal , yakni Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan bahwa semua tanah di Indonesia yaitu milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh karena itu , pihak swasta boleh menyewanya dalam rentang waktu antara 50 hingga 75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan , bahwa tebu tidak dilarang diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara sedikit demi sedikit dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula gres (Swanto , dkk. , 1997 :29).

Hal ini kelihatannya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik , antara lain terlihat pada a). Keberadaan pemerintah Hindia Belanda selaku tuan tanah , pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta selaku kalangan kapitalis , dan penduduk pribumi selaku buruh penggarap tanah. b). Prinsip keuntungan diktatorial : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan , maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke kawasan tersebut. c). Laissez fairelaissez passer , perekonomian diserahkan pada pihak swasta , walau jelas , pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang bekerjsama.
Pengaruh Politik Liberal Bagi Indonesia

Terbukanya Indonesia bagi swasta aneh berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta abnormal di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat , perkebunan tembakau di Deli , perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur , dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan , juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto , dkk. (1997) dampak gerakan liberal kepada Indonesia secara umum yaitu : 1). Tanam paksa dihapus. 2). Modal swasta abnormal mulai ditanamkan di Indonesia. 3). Rakyat Indonesia mulai mengetahui akan arti pentingnya duit. 4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 5). Pemerintah Hindia Belanda membangun fasilitas dan prasarana. 6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.

Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak eksklusif melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal , pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu , para buruh diibayar dengan gaji yang sangat minim , tanpa jaminan kesehatan yang memadai , jatah makan yang kurang , dan tidak lagi memiliki tanah lantaran sudah disewakan untuk membayar hutang.

Disamping itu , para pekerja perkebunan diikat dengan metode kontrak , sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun mendapatkan perlakuan yang tidak baik , lantaran mereka akan kena eksekusi dari pengusaha jikalau tertangkap. Pihak usahawan memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menimbulkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita (Swanto , dkk. , 1997 : 29-30).

Jadi , pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda , sedangkan pada masa роlіtіk ріntu tеrbukа rakyat diperas baik usahawan swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak pribadi. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam memperoleh tanah , buruh , dan kesempatan menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pramusaji modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi , dengan menelantarkan pelayanan penduduk . Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula mengharapkan liberalisasi tanah jajahan kemudian bermetamorfosis bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto , 2006 :128).
Akibat Politik Pintu Terbuka Bagi Indonesia

Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an , kekuatan liberal Belanda , didukung pemilik modal dan kelas menengah , menjangkau kekuasaan di negeri sendiri , kemudian mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo “kebebasan usaha , kebebasan kerja , dan pemilikan pribadi” , kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah , buruh , dan peluang menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pramusaji modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi , dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif , 2007). Kaum liberal menatap Hindia Belanda selaku ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan balasan-akibat , diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini mampu terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah , pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan melakukan pekerjaan pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota makin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan makin luas (Swanto ,dkk. ,1997:30).

Bagi bangsa Indonesia , liberalisme terang merupakan ideologi yang mampu mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material , di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak cocok dan berlawanan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan harapan , berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material yaitu upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan komitmen politik bangsa Indonesia dalam menatap hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan berlawanan dengan ideologi Pancasila tersebut yakni: Pertama , ideologi liberalisme memberikan prinsip keleluasaan individual secara mutlak , tidak berpijak pada nilai-nilai moral , kesusilaan , dan keadilan sosial. Kedua , ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menginginkan adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam membuat kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga , ideologi liberalisme menganut tata cara nilai demokrasi yang menggunakan ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas , sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak mampu atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.

Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan prospek – kesempatan besar mengenai keunggulan metode liberal dalam memajukan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia , tetapi pada selesai era ke-19 sudah faktual bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993 : 124).

Referensi:
http://www.sherlymalthufah.freeiz.com/politik_pintu_terbuka.html
http://www.sahrulkhair.com/2013/03/politik-pintu-terbuka-1870-1900-politik.html
Seluruh informasi yang tersajikan di situs web kami (I Smail Zone) diterbitkan dengan tujuan sebatas sebagai informasi umum. Kami tidak menjamin tentang kelengkapan, keandalan, dan keakuratan pada setiap informasi yang kami terbitkan melalui tulisan-tulisan di dalam situs web kami.
Melalui situs kami, Anda dapat mengunjungi tautan eksternal. Meskipun kami berusaha untuk hanya menyertakan tautan berkualitas tinggi ke situs lain yang bermanfaat dan etis, kami tidak memiliki kendali penuh atas konten dan sifat situs yang kami tautkan. Baca Selengkapnya: https://ismail-zone.blogspot.com/p/blog-page_7.html.
Sumber Artikel: http://pandri-16.blogspot.com
Next Post Previous Post